Sebuah kelas yang terletak di pojok bangunan
dengan warna biru yang menghiasi dindingnya, dua belas IPA 3, sebuah kelas yang
sudah aku singgahi dengan teman-teman bayanganku selama kurang lebih dua tahun.
Ya, mereka adalah teman bayanganku karena aku tidak benar-benar menjadi bagian
diantara mereka.
“Belum pulang, Sa ?” Aku hanya tersenyum lalu
menggeleng pelan. Dia tersenyum sebelum dia berjalan menjauhiku dengan dua
orang lain yang berada di samping kanan kirinya. Terkadang, aku merasa iri
kepada Suzy. Gadis itu begitu cantik, ramah, pandai dalam bermain biola, juga
dalam hal matematika dan fisika.
Aku duduk termenung di bangkuku yang berada di
sudut kelas. Hal ini akan memudahkanku untuk menyendiri, tanpa harus melakukan
banyak interaksi dengan penghuni kelas ini. Aku memperhatikan seisi kelas yang
belum sepenuhnya kosong. Pandanganku bergerak pada Arkan dan Nita, dua sejoli
yang sedang duduk berdua di sudut kelas. Lalu, Sakura, Nita, dan Widya, tiga
sejoli yang saling menghiasi satu sama lain bak Telaga Warna. Begitu juga
dengan Elli dan Nina yang tengah berjalan bersama meninggalkan kelas, yang aku
yakini mereka akan pulang bersama.
Aku juga tidak tahu apa penyebabnya, tetapi
pada kenyataannya, aku sendiri. Sudah hampir dua tahun, tetapi tetap saja aku
tidak benar-benar memiliki seorang teman yang peduli kepadaku, tidak seperti
saat aku kelas sepuluh dulu. Aku menatap mereka sekali lagi sebelum aku
benar-benar meninggalkan kelas. Aku berjalan ke belakang, menuju taman yang
berada di dekat kelas X-7. Aku duduk di salah satu bangku panjang disana. Aku
melihat beberapa murid yang masih bercengkerama dengan teman-temannya,
bercanda, hingga salah satu di antara mereka mengeluarkan air mata dengan
tawanya yang terbahak.
Tiba-tiba aku merasa iri kepada mereka. Dua
temannya, tengah memberikan semangat kepada seorang gadis di samping mereka,
yang akan mengikuti wawancara pemilihan OSIS, begitulah yang sempat aku dengar.
Aku menghembuskan nafas yang entah sejak kapan aku tahan. Aku ingin seperti
gadis itu, di saat jantung berdetak menunggu detik-detik dirinya diwawancarai,
ada dua orang penyemangat yang membuatnya untuk terus maju dan bertahan. Tidak
seperti aku. Bahkan, di saat aku akan menjalani tes seleksi olimpiade seperti
ini pun, tidak ada satu orang pun yang memberiku semangat, kecuali kedua orang
tuaku. Lalu, pandanganku beralih pada seorang lelaki dan gadis yang sedang
bercanda di sebuah bangku panjang, sebelah tiga gadis itu. “Andai saja aku.”
Aku menggelengkan kepala saat tiba-tiba bayangan itu terbesit di pikiranku.
Bagaimana mungkin, aku bisa merasakan cinta ? Merasakan ketulusan sebuah
pertemanan saja belum sempat aku rasakan dan bagaimana bisa aku bermimpi untuk
merasakan ketulusan sebuah cinta ?
Aku melirik jam yang tengah melingkar di
pergelangan tangan kananku. Sebentar lagi, olimpiade itu dimulai, tetapi tidak
ada satu materi yang aku pelajari masuk ke dalam memoriku. Aku sudah membuka
lembaran soal yang ada di depanku berkali-kali, tapi sepertinya materi itu
terpental begitu saja dari otakku.
Pikiranku kembali melayang pada kejadian satu
tahun yang lalu. Saat aku pertama kali masuk ke dalam kelas sebelas IPA 3. Aku
tertawa hambar. Pernah terbesit di pikiranku bahwa panitia penjurusan waktu itu
salah menuliskan jurusan untukku. Awalnya, aku merasa senang karena aku bisa
masuk ke dalam jurusan IPA, tetapi setelah lima bulan berlalu, nilai eksakku
tidak terlalu tinggi diantara mereka dan mungkin karena alasan itu yang membuatku
tidak memiliki begitu banyak teman. Itu semua karena otakku yang tidak begitu
encer di antara mereka.
“Kok ngelamun ?” Aku menoleh. Seorang gadis
cantik, berkulit putih itu tengah duduk di samping kananku tanpa aku sadari.
Aku hanya membalasnya tersenyum lalu mengedarkan pandanganku pada tiga gadis
tadi, yang masih bercanda satu sama lain.
“Kamu nggak punya temen ?” Samar-samar, aku bisa mendengar suaranya memelan
karena ragu. Entah kenapa, tiba-tiba air
mataku menetes dan terjatuh di rok abu-abuku.
“Eh, kenapa nangis ? Aduh, aku salah ngomong ya ?” Dia mendekatkan
tubuhnya ke sampingku dan menyentuh pelan bahuku. “Jangan nangis. Aku mau kok
nemenin kamu.”
Aku tersenyum tulus. Aku menoleh dan menatap mata jernihnya dalam-dalam.
Saat itu, aku bisa merasakan bahwa dia tulus mengatakan itu.
“Terima kasih.” Kataku. Aku menghapus air mataku yang terjatuh, dengan
cepat. “Menangis, bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah bukan ?
Tapi, jika itu memang cara untuk membuatmu lebih nyaman, kenapa tidak ?” Sekali
lagi, dia membuatku tersenyum.
“Namamu, Arisa kan
?” Aku menoleh dan alisku bertaut menjadi satu.
“Kok tahu ?”
“Karena kamu telah menamai hatiku.” Dia menyatukan telapak tangannya dan
mendekatkannya pada pipi kirinya. Dia begitu menggemaskan hingga aku tertawa
karenanya. “Tentu saja, aku tahu. Itu, yang ada di seragam kananmu.”
Dia menunjuk bagian atas dadaku. Aku tidak bisa menahan tawa atas
kebodohanku sendiri.
“Bener juga. Aku nggak sadar.” Aku menepuk dahiku sendiri karena merasa
benar-benar konyol di tempat itu.
“Lely.”
Dia mengulurkan tangannya di depanku. Aku balas menjabat tangannya yang
terasa sangat dingin.
“Kok dingin banget ? Kamu lagi sakit ?” Namun, dia tidak menjawab
pertanyaanku. Dia hanya membalasnya dengan tersenyum lalu melepaskan tangannya.
Dia berdiri lalu meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
“Semangat ya !” Dia pergi begitu saja, sebelum dia menjawab
pertanyaanku. Aku menatap punggungnya yang semakin jauh dan benar-benar
menghilang saat dia berbelok.
***
“Eh, lo dapet berapa ?”
“90 Man ! Lo ?”
Aku mendengar suara riuh di dalam kelas. Mereka
saling menanyakan satu sama lain tentang hasil ulangan kimia mereka, tetapi
tidak denganku. Tidak ada seorang pun yang bertanya kepadaku. Aku yakin mereka
akan hafal dengan nilai eksakku di luar kepala. Jadi, saat aku merasa aku bukan
pesaing berat untuk mereka, aku putuskan untuk memasukkan asal lembaran jawaban
itu ke dalam tasku. Dalam hati, aku mengumpatnya, karena dia selalu datang dengan
membawa kabar yang buruk.
“Karena lo udah dapet nilai bagus, jadi lo
harus neraktir kitaaa !” Seru seseorang dengan suara beratnya yang dominan. Aku
melirik mereka dari sudut ekor mataku. Tiba-tiba mataku terasa memanas. Bahkan
seperti itu pun, aku tidak pernah merasakannya. Aku mengalihkan pandanganku,
berusaha menahannya agar air mata ini tidak keluar untuk kesekian kalinya.
Aku mengedarkan pandanganku ke dalam kelas yang
sekarang mulai kosong karena satu per satu di antara mereka keluar, yang aku
yakin mereka akan pergi ke kantin. Sekali lagi, aku harus merasakan betapa
sepinya suasana kelas dalam kesendirian.
“Tuh, kan
ngelamun lagi !” Aku menoleh. Gadis kemarin itu tengah duduk di samping kiriku.
“Kok bisa kesini ? Lagi jamkos ya ?”
Dia hanya mengangkat bahunya dan tertawa garing. “Kenapa sih, kamu nggak
keluar bareng mereka ?”
Aku mengikuti arah pandangnya lalu mendesah dengan keras “Nggak
mungkin”. Kataku akhirnya.
“Kenapa nggak mungkin ? Mungkin aja kali !”
Aku menggeleng pasrah. “Aku, aku nggak punya bakat untuk ditunjukkan
kepada mereka. Meskipun ada, itu nggak akan menonjol. Tetep aja, aku nggak akan
dilihat oleh mereka. Percuma ! Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan
itu menurutku salah. Seperti halnya denganku. Aku nggak punya kelebihan yang menarik
dan berbeda. Orang lain bisa saja melakukan bakatku, ini. Tetep aja.” Aku sudah
tidak bisa meneruskan kata-kataku selanjutnya. Aku membekap mulutku sendiri. Air
mataku sudah berjatuhan dengan sangat deras di rok abu-abuku. Aku terisak di
samping Lely.
Dia mendekatkan tubuhnya dan memeluk bahuku
yang naik-turun karena menangis. Lalu, aku bisa merasakan rambutku disentuh
olehnya, yang memberikan rasa nyaman tersendiri dalam hatiku.
“Jangan ngomong gitu. Kamu itu berbeda dengan orang lain. Meskipun,
bakat mereka sama denganmu, tapi pasti ada hal yang berbeda meskipun itu
sedikit. Perbedaan itu akan menjadi ciri khasmu. Jangan nyalahin diri sendiri.
Itu anugerah Tuhan, kamu harus mensyukurinya.”
Air mataku kini mulai jatuh di seragam gadis
itu. Aku balas memeluknya dengan erat. Hatiku benar-benar merasa sakit. Tidak
pernah sedikit pun aku berharap, aku tidak memiliki teman seperti ini, tidak
pernah.
“Inget. Kamu nggak akan bisa jadi orang lain, begitupun mereka. Kamu
punya ciri khas tersendiri di mata mereka. Berusahalah terbuka dan dekati
mereka.” Aku mendongak, menatapnya, lalu menggeleng pasrah.
“Entahlah.” Aku menghapus air mataku dengan keras, lalu beranjak dari
kursiku.
“Mau kemana ?”
“Kamar mandi.” Jawabku singkat sebelum aku pergi meninggalkannya
sendiri.
Aku menatap pantulan bayanganku di depan cermin
saat aku sudah berada di dalam kamar mandi. Tiba-tiba aku ingin menertawai
bayangan itu. Pantulan wajah dengan mata sembabnya yang tengah tersenyum ke
arahku.
“Kamu itu nggak cantik, nggak punya bakat ! Jangan ngimpi bisa temenan
sama mereka !”
Aku membuka kran dan membiarkan air yang berada di tanganku menyapu
bekas-bekas air mata yang sempat mengering di pipiku. Setelah aku bisa menata
hati dan pikiranku, aku melangkahkan kakiku kembali menuju kelas itu, kelas
yang sudah hampir dua tahun aku tempati, tetapi selalu tidak memiliki kesan
yang berarti setelah aku pulang dan kembali untuk bersekolah.
Aku menghembuskan nafas beratku, lalu membuka
knop pintu. Aku terkejut saat aku tidak menemukan seorang pun di dalam sana, termasuk Lely. Aku
memiringkan kepalaku sejenak, lalu berjalan ke bangkuku.
Mungkin, lagi ada pelajaran, gumamku.
“Huwaa. Sendiri lagii !” Kataku sedikit berteriak agar aku bisa
mendengar pantulan suaraku sendiri yang terdengar sangat menyedihkan.
“Permisi. Ini beneran kelas XII IPA 3 ?”
Aku menoleh ke arah pintu dan melihat seorang lelaki berkulit putih dan
rambutnya yang cepak sedang berdiri di depan pintu sambil memandangiku.
“I, iya. Ada
apa ?”
“Oh ini.”
Dia mendekatiku dan entah apa yang terjadi, tiba-tiba jantungku berdetak
semakin cepat saat langkahnya semakin dekat, hingga tangan dan kakiku terasa
sangat dingin. Dengan jarak seperti ini, aku bisa melihat matanya dengan jelas.
Mata bulat yang bewarna keabu-abuan.
“Ini, ada sesuatu yang harus disampaikan kepada wali murid XII IPA 3
dari Kepsek. Sebentar lagi, pelajaran Bu Widya kan ?” Dia menatap kedua mataku. Aku
mengerjapkan mata beberapa kali sebelum aku mengalihkan pandanganku ke arah
lain.
“Aku letakkan di sini aja ya ?” Dia mengangkat lembaran-lembaran itu
sekilas sebelum dia benar-benar meletakannya di atas meja guru.
Dia tersenyum, membuat jantungku semakin tidak keruan dan aku baru bisa
bernafas dengan normal saat dia benar-benar menghilang dari depan kelasku.
“Aduh, kenyangnya !” Sepertinya, mereka sudah
selesai merayakan ‘pesta’ mereka karena aku mendengar suara berat Jordy yang
menggema di dalam kelas.
“Waaah, ini apaaan ?” Kali ini, aku mendengar suara cempreng Riska yang
sedikit histeris. Aku tidak mempedulikannya dan tetap melanjutkan aktivitasku sebelumnya,
mengaitkan hook ke dalam benang dan membentuk simpul-simpul tertentu tanpa
menatap mereka.
“Astagaa !”
Kali ini, aku mendengar suara cempreng Riska yang meninggi beberapa
oktaf. “Woy, sini sini siniii !”
Aku baru mendongak saat aku mendengar suara riuh di depan sana. Saat aku merasa
tidak ada hal yang menarik di depan sana, aku putuskan untuk kembali fokus dalam
membentuk simpul-simpul baru dengan hookku.
“Loh, ini, Ari, Arisaa !”
Aku menatap malas pada sekumpulan orang-orang dengan otak-otak encer di
depan sana,
yang tengah memanggil namaku bersamaan.
“Waaaah !” Riska, dengan suara cemprengnya berlari ke arah bangkuku. “Viel Glück!”
“Hah ?” Aku mengernyitkan dahiku hingga dalam.
“Selamat !” Tangannya terangkat di depan dadaku. “Ahh !” Dia menarik
tanganku karena aku tidak melakukan respon apapun, selain menatap matanya
karena bingung.
“Selamat Arisa !” Kali ini aku menatap gerombolan orang-orang di depan sana dari balik tubuh
Riska yang mungil.
“Apaan sih ?”
Rio, ketua kelasku, menggoyang-nggoyangkan lembaran itu dan membuat
perhatianku berpindah dari Rio ke lembaran
itu. Dia mendekat, lalu meletakkan lembaran itu di atas mejaku.
Viel Glück !
Arisa Yuana Putri
Anda berhak melanjutkan Olimpiade Bahasa Jerman di Tingkat
Internasional
“Haaaah ?” Aku berteriak sekeras-kerasnya. Seisi kelas pun mulai
bergerombol di bangkuku dan satu per satu diantara mereka menjabat tanganku.
“Seneng banget rasanya punya temen yang menang olimpiade sampai tingkat
internasional !” Ruri mengacak rambutku sebelum dia menjabat tanganku.
“Wah, temen gue hebat bener Man !”
Satu per satu ucapan selamat itu mengalir kepadaku. Air mataku rasanya
sudah hampir menetes.
Jadi, rasanya seperti ini ya ?
Rasanya punya temen ?
Jadi, rasanya seperti ini ya ?
Bisa diucapin selamat dan semangat dari mereka ?
Jadi, rasanya seperti ini ya ?
Bisa dibanggain sama mereka , aku membatin.
Aku masih menatap lembaran di depanku
lekat-lekat. Tanganku sampai bergetar saat mengangkatnya dan mendekatkannya
pada indera penglihatanku. Aku menelan ludah yang rasanya sangat susah karena
ini terlalu mengejutkan. Aku membekap mulutuku sendiri. Rasanya benar-benar,
membahagiakan !
Aku mengedarkan pandanganku ke luar jendela,
menatap segerombol siswa-siswi yang sudah memenuhi papan pengumuman itu. Rasanya seperti ini ya ? Bisa dikenal oleh
banyak orang ? Gumamku dengan bibir yang bergetar.
Aku menoleh saat aku merasakan sepasang mata tengah menatapku cukup lama.
Dia tersenyum sangat lebar dan melambaikan tangannya saat mata kami bertemu.
Bibirku tertarik ke atas saat mengenali gadis itu. Aku menarik lembar
pengumuman di depan mejaku dan berlari ke arahnya.
Namun, tanganku melemas saat aku tidak melihatnya di depan kelas. Aku
tidak mungkin salah lihat. Jelas-jelas aku melihatnya di depan kelas dan
tersenyum ke arahku. Bagaimana dia bisa menghilang begitu cepatnya ? Kemana dia
pergi ?
“Hai, Sa ! Selamat ya. Aku.”
“Kamu tahu nggak, Lely dimana ?” Aku menghentikan kalimatnya sebelum dia
sempat menyelesaikannya.
“Maksud kamu ?”
“Lely, kamu nggak kenal ? Cewek cantik, kulitnya putih, rambutnya
sepinggang, dan ada.”
“Ada
bekas luka di daerah pelipisnya ?” Lanjutnya tanpa aku perintah.
“Iya !” Jawabku yakin.
“Kamu baik-baik aja kan,
Sa ?”
“Hah ?”
Dia menarikku dan memintaku duduk di depan kelas lalu menatap mataku
dalam-dalam.
“Sa, Lely itu nggak ada.”
“Maka dari itu, aku lagi nyari dia. Kamu tahu nggak, dia ada dimana ?”
“Maksud aku, dia itu udah meninggal. Kamu nggak tahu soal berita itu ?”
Aku hanya menatap gadis di depanku tanpa berkedip, bahkan otakku yang
dodol sepertinya lebih tidak berfungsi dengan baik saat ini.
“Lely Andrian, benar kan
?”
Aku mengangguk walaupun aku sedikit ragu. Apakah aku yakin akan mendengar
jawaban yang sebenarnya ? Ataukah sebaliknya ?
“Dia, kakak kelas kita dua tahun yang lalu. Aku dengar, kelas terakhir
sebelum dia meninggal adalah di kelas kita, dan bangku yang paling dia sukai sewaktu
dia masih hidup adalah bangku yang saat ini kamu tempati.”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar