Blogger Widgets

Kamis, 19 Desember 2013

Sepenggal Ilusi

Sebuah kelas yang terletak di pojok bangunan dengan warna biru yang menghiasi dindingnya, dua belas IPA 3, sebuah kelas yang sudah aku singgahi dengan teman-teman bayanganku selama kurang lebih dua tahun. Ya, mereka adalah teman bayanganku karena aku tidak benar-benar menjadi bagian diantara mereka.
“Belum pulang, Sa ?” Aku hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Dia tersenyum sebelum dia berjalan menjauhiku dengan dua orang lain yang berada di samping kanan kirinya. Terkadang, aku merasa iri kepada Suzy. Gadis itu begitu cantik, ramah, pandai dalam bermain biola, juga dalam hal matematika dan fisika. 
Aku duduk termenung di bangkuku yang berada di sudut kelas. Hal ini akan memudahkanku untuk menyendiri, tanpa harus melakukan banyak interaksi dengan penghuni kelas ini. Aku memperhatikan seisi kelas yang belum sepenuhnya kosong. Pandanganku bergerak pada Arkan dan Nita, dua sejoli yang sedang duduk berdua di sudut kelas. Lalu, Sakura, Nita, dan Widya, tiga sejoli yang saling menghiasi satu sama lain bak Telaga Warna. Begitu juga dengan Elli dan Nina yang tengah berjalan bersama meninggalkan kelas, yang aku yakini mereka akan pulang bersama.
Kemudian, aku menoleh ke samping. Tidak ada siapapun, sendiri.

Aku juga tidak tahu apa penyebabnya, tetapi pada kenyataannya, aku sendiri. Sudah hampir dua tahun, tetapi tetap saja aku tidak benar-benar memiliki seorang teman yang peduli kepadaku, tidak seperti saat aku kelas sepuluh dulu. Aku menatap mereka sekali lagi sebelum aku benar-benar meninggalkan kelas. Aku berjalan ke belakang, menuju taman yang berada di dekat kelas X-7. Aku duduk di salah satu bangku panjang disana. Aku melihat beberapa murid yang masih bercengkerama dengan teman-temannya, bercanda, hingga salah satu di antara mereka mengeluarkan air mata dengan tawanya yang terbahak. 
Tiba-tiba aku merasa iri kepada mereka. Dua temannya, tengah memberikan semangat kepada seorang gadis di samping mereka, yang akan mengikuti wawancara pemilihan OSIS, begitulah yang sempat aku dengar. Aku menghembuskan nafas yang entah sejak kapan aku tahan. Aku ingin seperti gadis itu, di saat jantung berdetak menunggu detik-detik dirinya diwawancarai, ada dua orang penyemangat yang membuatnya untuk terus maju dan bertahan. Tidak seperti aku. Bahkan, di saat aku akan menjalani tes seleksi olimpiade seperti ini pun, tidak ada satu orang pun yang memberiku semangat, kecuali kedua orang tuaku. Lalu, pandanganku beralih pada seorang lelaki dan gadis yang sedang bercanda di sebuah bangku panjang, sebelah tiga gadis itu. “Andai saja aku.” Aku menggelengkan kepala saat tiba-tiba bayangan itu terbesit di pikiranku. Bagaimana mungkin, aku bisa merasakan cinta ? Merasakan ketulusan sebuah pertemanan saja belum sempat aku rasakan dan bagaimana bisa aku bermimpi untuk merasakan ketulusan sebuah cinta ?
Aku melirik jam yang tengah melingkar di pergelangan tangan kananku. Sebentar lagi, olimpiade itu dimulai, tetapi tidak ada satu materi yang aku pelajari masuk ke dalam memoriku. Aku sudah membuka lembaran soal yang ada di depanku berkali-kali, tapi sepertinya materi itu terpental begitu saja dari otakku.
Pikiranku kembali melayang pada kejadian satu tahun yang lalu. Saat aku pertama kali masuk ke dalam kelas sebelas IPA 3. Aku tertawa hambar. Pernah terbesit di pikiranku bahwa panitia penjurusan waktu itu salah menuliskan jurusan untukku. Awalnya, aku merasa senang karena aku bisa masuk ke dalam jurusan IPA, tetapi setelah lima bulan berlalu, nilai eksakku tidak terlalu tinggi diantara mereka dan mungkin karena alasan itu yang membuatku tidak memiliki begitu banyak teman. Itu semua karena otakku yang tidak begitu encer di antara mereka.
“Kok ngelamun ?” Aku menoleh. Seorang gadis cantik, berkulit putih itu tengah duduk di samping kananku tanpa aku sadari. Aku hanya membalasnya tersenyum lalu mengedarkan pandanganku pada tiga gadis tadi, yang masih bercanda satu sama lain.
“Kamu nggak punya temen ?” Samar-samar, aku bisa mendengar suaranya memelan  karena ragu. Entah kenapa, tiba-tiba air mataku menetes dan terjatuh di rok abu-abuku.
“Eh, kenapa nangis ? Aduh, aku salah ngomong ya ?” Dia mendekatkan tubuhnya ke sampingku dan menyentuh pelan bahuku. “Jangan nangis. Aku mau kok nemenin kamu.”
Aku tersenyum tulus. Aku menoleh dan menatap mata jernihnya dalam-dalam. Saat itu, aku bisa merasakan bahwa dia tulus mengatakan itu.
“Terima kasih.” Kataku. Aku menghapus air mataku yang terjatuh, dengan cepat. “Menangis, bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah bukan ? Tapi, jika itu memang cara untuk membuatmu lebih nyaman, kenapa tidak ?” Sekali lagi, dia membuatku tersenyum.
“Namamu, Arisa kan ?” Aku menoleh dan alisku bertaut menjadi satu.
“Kok tahu ?”
“Karena kamu telah menamai hatiku.” Dia menyatukan telapak tangannya dan mendekatkannya pada pipi kirinya. Dia begitu menggemaskan hingga aku tertawa karenanya. “Tentu saja, aku tahu. Itu, yang ada di seragam kananmu.”
Dia menunjuk bagian atas dadaku. Aku tidak bisa menahan tawa atas kebodohanku sendiri.
“Bener juga. Aku nggak sadar.” Aku menepuk dahiku sendiri karena merasa benar-benar konyol di tempat itu.
“Lely.”
Dia mengulurkan tangannya di depanku. Aku balas menjabat tangannya yang terasa  sangat dingin.
“Kok dingin banget ? Kamu lagi sakit ?” Namun, dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya membalasnya dengan tersenyum lalu melepaskan tangannya. Dia berdiri lalu meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.
“Semangat ya !” Dia pergi begitu saja, sebelum dia menjawab pertanyaanku. Aku menatap punggungnya yang semakin jauh dan benar-benar menghilang saat dia berbelok.
***
“Eh, lo dapet berapa ?”
“90 Man ! Lo ?”
Aku mendengar suara riuh di dalam kelas. Mereka saling menanyakan satu sama lain tentang hasil ulangan kimia mereka, tetapi tidak denganku. Tidak ada seorang pun yang bertanya kepadaku. Aku yakin mereka akan hafal dengan nilai eksakku di luar kepala. Jadi, saat aku merasa aku bukan pesaing berat untuk mereka, aku putuskan untuk memasukkan asal lembaran jawaban itu ke dalam tasku. Dalam hati, aku mengumpatnya, karena dia selalu datang dengan membawa kabar yang buruk.
“Karena lo udah dapet nilai bagus, jadi lo harus neraktir kitaaa !” Seru seseorang dengan suara beratnya yang dominan. Aku melirik mereka dari sudut ekor mataku. Tiba-tiba mataku terasa memanas. Bahkan seperti itu pun, aku tidak pernah merasakannya. Aku mengalihkan pandanganku, berusaha menahannya agar air mata ini tidak keluar untuk kesekian kalinya.
Aku mengedarkan pandanganku ke dalam kelas yang sekarang mulai kosong karena satu per satu di antara mereka keluar, yang aku yakin mereka akan pergi ke kantin. Sekali lagi, aku harus merasakan betapa sepinya suasana kelas dalam kesendirian.
“Tuh, kan ngelamun lagi !” Aku menoleh. Gadis kemarin itu tengah duduk di samping kiriku.
“Kok bisa kesini ? Lagi jamkos ya ?”
Dia hanya mengangkat bahunya dan tertawa garing. “Kenapa sih, kamu nggak keluar bareng mereka ?”
Aku mengikuti arah pandangnya lalu mendesah dengan keras “Nggak mungkin”. Kataku akhirnya.
“Kenapa nggak mungkin ? Mungkin aja kali !”
Aku menggeleng pasrah. “Aku, aku nggak punya bakat untuk ditunjukkan kepada mereka. Meskipun ada, itu nggak akan menonjol. Tetep aja, aku nggak akan dilihat oleh mereka. Percuma ! Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan itu menurutku salah. Seperti halnya denganku. Aku nggak punya kelebihan yang menarik dan berbeda. Orang lain bisa saja melakukan bakatku, ini. Tetep aja.” Aku sudah tidak bisa meneruskan kata-kataku selanjutnya. Aku membekap mulutku sendiri. Air mataku sudah berjatuhan dengan sangat deras di rok abu-abuku. Aku terisak di samping Lely.
Dia mendekatkan tubuhnya dan memeluk bahuku yang naik-turun karena menangis. Lalu, aku bisa merasakan rambutku disentuh olehnya, yang memberikan rasa nyaman tersendiri dalam hatiku.
“Jangan ngomong gitu. Kamu itu berbeda dengan orang lain. Meskipun, bakat mereka sama denganmu, tapi pasti ada hal yang berbeda meskipun itu sedikit. Perbedaan itu akan menjadi ciri khasmu. Jangan nyalahin diri sendiri. Itu anugerah Tuhan, kamu harus mensyukurinya.”
Air mataku kini mulai jatuh di seragam gadis itu. Aku balas memeluknya dengan erat. Hatiku benar-benar merasa sakit. Tidak pernah sedikit pun aku berharap, aku tidak memiliki teman seperti ini, tidak pernah.
“Inget. Kamu nggak akan bisa jadi orang lain, begitupun mereka. Kamu punya ciri khas tersendiri di mata mereka. Berusahalah terbuka dan dekati mereka.” Aku mendongak, menatapnya, lalu menggeleng pasrah.
“Entahlah.” Aku menghapus air mataku dengan keras, lalu beranjak dari kursiku.
“Mau kemana ?”
“Kamar mandi.” Jawabku singkat sebelum aku pergi meninggalkannya sendiri.
Aku menatap pantulan bayanganku di depan cermin saat aku sudah berada di dalam kamar mandi. Tiba-tiba aku ingin menertawai bayangan itu. Pantulan wajah dengan mata sembabnya yang tengah tersenyum ke arahku.
“Kamu itu nggak cantik, nggak punya bakat ! Jangan ngimpi bisa temenan sama mereka !”
Aku membuka kran dan membiarkan air yang berada di tanganku menyapu bekas-bekas air mata yang sempat mengering di pipiku. Setelah aku bisa menata hati dan pikiranku, aku melangkahkan kakiku kembali menuju kelas itu, kelas yang sudah hampir dua tahun aku tempati, tetapi selalu tidak memiliki kesan yang berarti setelah aku pulang dan kembali untuk bersekolah.
Aku menghembuskan nafas beratku, lalu membuka knop pintu. Aku terkejut saat aku tidak menemukan seorang pun di dalam sana, termasuk Lely. Aku memiringkan kepalaku sejenak, lalu berjalan ke bangkuku.
Mungkin, lagi ada pelajaran, gumamku.
“Huwaa. Sendiri lagii !” Kataku sedikit berteriak agar aku bisa mendengar pantulan suaraku sendiri yang terdengar sangat menyedihkan.
“Permisi. Ini beneran kelas XII IPA 3 ?”
Aku menoleh ke arah pintu dan melihat seorang lelaki berkulit putih dan rambutnya yang cepak sedang berdiri di depan pintu sambil memandangiku.
“I, iya. Ada apa ?”
“Oh ini.”
Dia mendekatiku dan entah apa yang terjadi, tiba-tiba jantungku berdetak semakin cepat saat langkahnya semakin dekat, hingga tangan dan kakiku terasa sangat dingin. Dengan jarak seperti ini, aku bisa melihat matanya dengan jelas. Mata bulat yang bewarna keabu-abuan.
“Ini, ada sesuatu yang harus disampaikan kepada wali murid XII IPA 3 dari Kepsek. Sebentar lagi, pelajaran Bu Widya kan ?” Dia menatap kedua mataku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
“Aku letakkan di sini aja ya ?” Dia mengangkat lembaran-lembaran itu sekilas sebelum dia benar-benar meletakannya di atas meja guru.
Dia tersenyum, membuat jantungku semakin tidak keruan dan aku baru bisa bernafas dengan normal saat dia benar-benar menghilang dari depan kelasku.
“Aduh, kenyangnya !” Sepertinya, mereka sudah selesai merayakan ‘pesta’ mereka karena aku mendengar suara berat Jordy yang menggema di dalam kelas.
“Waaah, ini apaaan ?” Kali ini, aku mendengar suara cempreng Riska yang sedikit histeris. Aku tidak mempedulikannya dan tetap melanjutkan aktivitasku sebelumnya, mengaitkan hook ke dalam benang dan membentuk simpul-simpul tertentu tanpa menatap mereka.
“Astagaa !”
Kali ini, aku mendengar suara cempreng Riska yang meninggi beberapa oktaf. “Woy, sini sini siniii !”
Aku baru mendongak saat aku mendengar suara riuh di depan sana. Saat aku merasa tidak ada hal yang menarik di depan sana, aku putuskan untuk kembali fokus dalam membentuk simpul-simpul baru dengan hookku.
“Loh, ini, Ari, Arisaa !”
Aku menatap malas pada sekumpulan orang-orang dengan otak-otak encer di depan sana, yang tengah memanggil namaku bersamaan.
“Waaaah !” Riska, dengan suara cemprengnya berlari ke arah bangkuku. Viel Glück!”
“Hah ?” Aku mengernyitkan dahiku hingga dalam.
“Selamat !” Tangannya terangkat di depan dadaku. “Ahh !” Dia menarik tanganku karena aku tidak melakukan respon apapun, selain menatap matanya karena bingung.
“Selamat Arisa !” Kali ini aku menatap gerombolan orang-orang di depan sana dari balik tubuh Riska yang mungil.
“Apaan sih ?”
Rio, ketua kelasku, menggoyang-nggoyangkan lembaran itu dan membuat perhatianku berpindah dari Rio ke lembaran itu. Dia mendekat, lalu meletakkan lembaran itu di atas mejaku.

Viel Glück !
Arisa Yuana Putri
Anda berhak melanjutkan Olimpiade Bahasa Jerman di Tingkat Internasional

“Haaaah ?” Aku berteriak sekeras-kerasnya. Seisi kelas pun mulai bergerombol di bangkuku dan satu per satu diantara mereka menjabat tanganku.
“Seneng banget rasanya punya temen yang menang olimpiade sampai tingkat internasional !” Ruri mengacak rambutku sebelum dia menjabat tanganku.
“Wah, temen gue hebat bener Man !”
Satu per satu ucapan selamat itu mengalir kepadaku. Air mataku rasanya sudah hampir menetes.
Jadi, rasanya seperti ini ya ? Rasanya punya temen ?
Jadi, rasanya seperti ini ya ? Bisa diucapin selamat dan semangat dari mereka ?
Jadi, rasanya seperti ini ya ? Bisa dibanggain sama mereka , aku membatin.
Aku masih menatap lembaran di depanku lekat-lekat. Tanganku sampai bergetar saat mengangkatnya dan mendekatkannya pada indera penglihatanku. Aku menelan ludah yang rasanya sangat susah karena ini terlalu mengejutkan. Aku membekap mulutuku sendiri. Rasanya benar-benar, membahagiakan !
Aku mengedarkan pandanganku ke luar jendela, menatap segerombol siswa-siswi yang sudah memenuhi papan pengumuman itu. Rasanya seperti ini ya ? Bisa dikenal oleh banyak orang ? Gumamku dengan bibir yang bergetar.
Aku menoleh saat aku merasakan sepasang mata tengah menatapku cukup lama. Dia tersenyum sangat lebar dan melambaikan tangannya saat mata kami bertemu. Bibirku tertarik ke atas saat mengenali gadis itu. Aku menarik lembar pengumuman di depan mejaku dan berlari ke arahnya.
Namun, tanganku melemas saat aku tidak melihatnya di depan kelas. Aku tidak mungkin salah lihat. Jelas-jelas aku melihatnya di depan kelas dan tersenyum ke arahku. Bagaimana dia bisa menghilang begitu cepatnya ? Kemana dia pergi ?
“Hai, Sa ! Selamat ya. Aku.”
“Kamu tahu nggak, Lely dimana ?” Aku menghentikan kalimatnya sebelum dia sempat menyelesaikannya.
“Maksud kamu ?”
“Lely, kamu nggak kenal ? Cewek cantik, kulitnya putih, rambutnya sepinggang, dan ada.”
“Ada bekas luka di daerah pelipisnya ?” Lanjutnya tanpa aku perintah.
“Iya !” Jawabku yakin.
“Kamu baik-baik aja kan, Sa ?”
“Hah ?”
Dia menarikku dan memintaku duduk di depan kelas lalu menatap mataku dalam-dalam.
“Sa, Lely itu nggak ada.”
“Maka dari itu, aku lagi nyari dia. Kamu tahu nggak, dia ada dimana ?”
“Maksud aku, dia itu udah meninggal. Kamu nggak tahu soal berita itu ?”
Aku hanya menatap gadis di depanku tanpa berkedip, bahkan otakku yang dodol sepertinya lebih tidak berfungsi dengan baik saat ini.
“Lely Andrian, benar kan ?”
Aku mengangguk walaupun aku sedikit ragu. Apakah aku yakin akan mendengar jawaban yang sebenarnya ? Ataukah sebaliknya ?
“Dia, kakak kelas kita dua tahun yang lalu. Aku dengar, kelas terakhir sebelum dia meninggal adalah di kelas kita, dan bangku yang paling dia sukai sewaktu dia masih hidup adalah bangku yang saat ini kamu tempati.”

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar